Sunan Drajat diperkirakan
lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat
gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim
putra Sunan Ampel dan terkenal
dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam ia menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di
kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan
Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu olehRaden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi. Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyar-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaraan pribadi.
Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau
Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam
dikuasai, ia mengambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan
XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai
otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan
nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial
baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada
etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan
kemakmuran.Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh
kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan
usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi
warganya, ia memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan
kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan
Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai
berikut :
1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu
membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana
riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli
dengan segala bentuk rintangan)
4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus
selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan
diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan
mencapai cita - cita luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (suatu
kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang
luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang
kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada
orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singo mengkok-nya Sunan Drajat kini tersimpan di Museum Daerah.Untuk
menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam
di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah
peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada
penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Museum Daerah
Sunan Drajat disebelah timur Makam. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk menyelamatkan dan
melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timurdengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangunan Gapura Paduraksa senilai Rp.98 juta dan anggaran
Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Mesjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri
Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan
dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé ranté serta
Cungkup Sitinggil dengan dana APBD IJawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi
Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah
seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun
Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu
Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko
Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Pemakaman Sunan Giri
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan
Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang
datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq
diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu
penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan
Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib,
Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali
Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan,
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim
Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut
adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab
Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa?) dan
Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera.
Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali,
kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang
diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun
kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah
tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu
dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Versi lain menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak
mendapat respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi
sekardadu (putri tunggal Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah
pewaris tahta kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya,
kedua patih membuang bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke dalam peti.[butuh rujukan]
Kemudian, bayi tersebut
ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan sobir - dan
dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi
tersebut Joko Samudro.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini
di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas
sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya
beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana
Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudro. Di sinilah, Joko Samudro yang
ternyata bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu
dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun
berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin
kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti
gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut
Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa
generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni
tradisional Jawa yang sering
dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan
anak seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta beberapa gending
(lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
Sunan Gresik
Sunan Gresik atau Maulana
Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.
Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai
asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia
bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan
masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari
wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara.Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim
as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh
Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir
di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.[1]
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana
Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan
dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah
negara Sabrang), telah menetap bersama paraMahomedans[2] lainnya di Desa Leran di Jang'gala".[3]Namun, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P.
Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan,
Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada
umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah
SAW, melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali'
Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan,
Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim,[5][6][7][8] yang berarti ia adalah keturunan orang Hadrami yang berhijrah.
Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara
para Walisongolainnya.[9] Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan
agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di
desa Pasucinan, Manyar.
Makam Maulana Malik
Ibrahim di sekitar tahun 1900
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui
pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam
pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan
hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan
yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang
tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang
dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat
pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak,
selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan
perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan
kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik,
bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah
yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga
mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat
Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing
termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan
menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka
pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa
selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang
menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap
malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12
Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul
biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan
riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.[14]
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana
Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Syeh
Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Syeh
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai,
sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam
Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan Samudera
Pasai.Syeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim
di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama
tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden
Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali
Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa,
kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Syeh
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan
nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia
merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati
masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya.
Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja
yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat
istrinya.
Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim
pernah menyatakan mengenai apa yang dinamakan Allah. Ia berkata: "Yang
dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang diperlukan ada-Nya."
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai
berikut:
“
|
Ini adalah
makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan
yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran
dan sebagai tongkat sekalian para sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir
dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik
Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan
ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12
Rabi'ul Awwal 822 Hijriah.
|
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[1], lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati
merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Ayah
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad
Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.
Ibu
Ibu Sunan Gunung Jati
adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari
Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi
atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk
Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di
Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )
Silsilah
Sunan Gunung Jati @
Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
·
Sayyid 'Umadtuddin
Abdullah Al-Khan bin
·
Sayyid 'Ali Nuruddin
Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin
·
Sayyid Ahmad Shah Jalal
@ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
·
Sayyid Abdullah
Al-'Azhomatu Khan bin
·
Sayyid Amir 'Abdul
Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin
·
Sayyid Alawi Ammil
Faqih (Hadhramaut) bin
·
Sayyid Ali Kholi' Qosim
bin
·
Sayyid Alawi Ats-Tsani
bin
·
Sayyid Muhammad Sohibus
Saumi'ah bin
·
Sayyid Alawi Awwal bin
·
Sayyid Al-Imam
'Ubaidillah bin
·
Sayyid 'Isa Naqib
Ar-Rumi bin
·
Sayyid Muhammad
An-Naqib bin
·
Sayyid Al-Imam Ali
Uradhi bin
·
Sayyidina Ja'far
As-Sodiq bin
·
Sayyidina Muhammad Al
Baqir bin
·
Sayyidina 'Ali Zainal
'Abidin bin
·
Al-Imam Sayyidina
Hussain
Silsilah dari Raja
Pajajaran
·
Sunan Gunung Jati @
Syarif Hidayatullah
·
Rara Santang (Syarifah
Muda'im)
·
Prabu Dewa Niskala
(Raja Galuh/Kawali)
·
Niskala Wastu Kancana @
Prabu Siliwangi I
·
Prabu Linggabuanawisesa
@ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)
Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang
dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian
riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir
ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau
di Majelis Syekh
Datuk Kahfi, Cirebon (tempat
belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat
mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah
dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama
Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan
Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang
putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Riwayat hidup
Proses belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan
spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai
belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah.
Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari
ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana
membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur
Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu
setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun
1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung
Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga
tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena
sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan
usia Raden Patah yang baru
diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif
Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah
adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau
Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian
bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang
pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan
Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam
akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Gangguan proses
Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490
hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden
Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari
kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugisyang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak
dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat,
memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti
Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia
ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan
lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya
berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam
daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis
di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif
Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan
dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan
armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama
mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat
menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat
fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan
yang masih tersisa dan mengangkatTubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima
berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P.
Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi
mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi
kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan
Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat
menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu
Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon
menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari
Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan
expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam
Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan
Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang
telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para
pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah
jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat
Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif
Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan
Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir
120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar
istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia
masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri
atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke
dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton
masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di
pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari
riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima
opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka
inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota
pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan.
Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah
opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap
memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap
bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan
para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan
dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian
riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan
Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan,
Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan
kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun
sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara
Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi
negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena
pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat
memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung
Jati Rahimahullah.
Sunan Kalijaga
Lukisan Sunan Kalijaga
Riwayat
Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan
Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari
tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan
Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran
Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat
Cirebon, nama Kalijaga berasal dariDesa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga
kali.
Silsilah
Mengenai asal usulnya,
ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah
keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu
menurut Babad Tubanmenyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara,
dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria
Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah
cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said
adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa
Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga
mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Pernikahan
Dalam satu riwayat,
Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak,
dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh danDewi Sofiah. Maulana Ishak memiliki
anak bernama Sunan Giri dan Dewi Saroh.
Mereka adalah kakak beradik.
Berda'wah
Menurut cerita, Sebelum
menjadi Walisongo, Raden Said adalah
seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil
Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin.
Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua
yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu.
Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi,
Sang Sunan Bonang tidak membenarkan
cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan
pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa
berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu
menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi
muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga
tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak
dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan
perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena
lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.
Tiga tahun kemudian, [[[Sunan Bonang]] datang dan membangunkan Raden Said.
Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said
diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi
pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian
dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat
bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu("Petruk
Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua
beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah
adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen,Banyumas, serta Pajang.
Wafat
Ketika wafat, ia
dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang -
orang dari seluruh indonesia
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung
dalam walisongo, yang lahir pada 9
September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq
Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasanganSunan Ngudung.
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali
Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke
Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima
Perang.
Jati diri Sunan Kudus
Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang
bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah
az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia
berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan
kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Nasab Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom
Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah
keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal
Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[1]
Sunan Kudus dalam Babad
Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah
terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam
Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada
tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat
cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam.
Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi
tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan,
bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan.
Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera
mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1
bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di
masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah
beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir
bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk,
tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada
sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” [2]
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama
Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu
Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu
Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling
disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya
dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang,
“Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang,
“Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian
itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah
mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu
mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan
Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan
Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud
Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah
utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata,
“Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan
mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata
tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata
setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai
Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang
(hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan
isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya
Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh
Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh
utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh
oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya
Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya
itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada
Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya
Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat
mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di
tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali
Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu
kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit
Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang
diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika
Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya
Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang
berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan
Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau
belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira
tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang
berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur
dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada
penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan
merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa
mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang
menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh
Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu
masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh,
jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk
dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur
saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti
terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan
bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh
terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.
Asal usul nama kota
Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga
setempat, awalnya ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing
sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina
asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal
bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari
Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai
pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan
Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Raden
Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau lebih dikenal dengan nama Sunan
Kudus adalah salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak.
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum
kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang
penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di
Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil.
Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para
santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap
memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang
dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga
Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.
Fakta mengenai Sunan
Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan
tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu
kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil
akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai
representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa
kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus.
Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system
komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh
obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat
ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam
sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang
berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali
yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata
uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk
apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada
masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur
Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu
Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat
keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan
salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan
diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September
1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990)
memang tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya
dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus
yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan
hari jadinya tak pernah lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam
memajukan rakyat dan ummatnya.[3]
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan
Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus
Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan
adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid
Menara dan Makam Sunan Kudus; serta merupakan pusat tempat berdirinya
rumah-rumah asli (adat pencu). Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur
Sungai Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan
daerah pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang
menggambarkan sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus
hingga terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi
kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan
umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian
kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah
(tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya
telah didahului dengan khataman quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun
sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai
dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang).
Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat Kudus
hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu
penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure
kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus masih beragama
Hindu yang menyucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan
Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang
dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang dengan beragam cara, baik
sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang
dari mancanegara.[4]
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber
penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai
“tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya.
Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan
sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat
dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan
maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki
identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan
patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam
sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).[5]
Pendidikan Sunan Kudus
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak
berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu
yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus.
Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang
nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik
simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya,
ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat
itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas
mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa
Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan
menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.
Dakwah Sunan Kudus
Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far
Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai
penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan
masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan
Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang
toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang
berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari
berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran
toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah
arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru
kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah
Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap
budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan
Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal
bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa
simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka
kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain
dari ajaran yang dibawa oleh ia.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin
banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus.
Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus
melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi
sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan
yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu.
Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah
estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta
Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat
itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam
juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus
bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip
dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai
tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan
Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah
Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu
hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam
di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir.
Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah
terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah
Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang
ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran
Toleransi Ala Sunan Kudus.[5]
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid
di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal
dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus
berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus
adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi
dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu
dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk
memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga
saat ini.
Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan Kudus
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama'
dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi
Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi
Al-Husaini.
Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan
nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut
beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan
Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia
dimakamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar