Kamis, 08 Desember 2016

Teori Masuknya Islam ke Idonesia
Menurut para sejarawan, pada abad ke-13 Masehi islam sudah masuk ke nusantara yang dibawa oleh para pedagan muslim. Namun untuk lebih pastinya para ahli masih terdapat perbedaan pendapat dari para sejarawan. Namun setidaknya 3 tiga teori tentang masuknya Islam ke Indonesia
1. Teori Gujarat
Teori ini dipelopori oleh ahli sejarah Snouck Hurgronje, menurutnya agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Gujarat pada abad ke-13 masehi.
2. Teori Persia
P.A Husein Hidayat mempelopori teori ini, menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh pedagang Persia (Iran), hal ini berdasarkan kesamaan antara kebudayaan islam di Indonesia dengan Persia.
3. Teori Mekkah
Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dibawa para pedagah Mekkah, teori ini berlandaskan sebuah berita dari China yang menyatakan jika pada abad ke-7 sudah terdapat perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.
Proses Masuknya Islam ke Nusantara
Masuknya islam di Indonesia berlangsung secara damai dan menyesuaikan dengan adat serta istiadat penduduk lokal. Ajaran islam yang tidak mengenal perbedaan kasta membuat ajaran ini sangat diterima penduduk lokal. Proses masuknya islam dilakukan melalui cara berikut ini.
1. Perdagangan
Letak Indonesia yang sangat strategis di jalur perdagangan di masa itu membuat Indonesia banyak disinggahi para pedagang dunia termasuk pedagang muslim. Banyak dari mereka yang akhirnya tinggal dan membangun perkampungan muslim, tak jarang mereka juga sering mendatangkan para ulama dari negeri asal mereka untuk berdakwah. Hal inilah yang diduga memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di nusantara.
2. Perkawinan
Penduduk lokal beranggapan bahwa para pedagang muslim ini adalah kalangan yang terpandang, sehingga banyak penguasa pribumi yang menikahkan anak mereka dengan para pedagang muslim. Sebagai sayarat sang gadis harus memeluk islam terlebih dahilu, hal inilah yang diduga memperlancar penyebaran ajaran islam.
3. Pendidikan
Setelah perkampungan islam terbentuk, mereka mulai mendirikan fasilitas pendidikan berupa pondok pesantren yang dipimpin langsung oleh guru agama dan para ulama. Para lulusan pesantren akan pulang ke kampung halaman dan menyebarkan ajaran islam di daerah masing-masing.
4. Kesenian
Wayang merupakan warisan budaya yang masih terjagan hingga saat ini, dalam penyebaran ajaran islam wayang memiliki perang yang sangat konkrit. Contohnya sunan kalijaga yang merupakan salah satu tokoh islam menggunakan pementasan wayang untuk berdakwah.
ISLAM DI NUSANTARA
Adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya.Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan HinduMajapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.
Awal sejarah
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelautMuslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3 Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.
WALI SONGO
Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po KongSunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).[1][2]
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Dia datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
Silsilah
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad:[butuh rujukan]
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,
India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari 
Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi' Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Muhammad Syahril
Ali Zainal 'Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)
Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan kaya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya. Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 hlmn ini sudah sangat populer dikalangan para santri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan pernapasanyang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا Ù„ Ù… ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid IndonesiaSejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai Sdr-sdr sekalian,
Dibawah ini saya sampaikan serial berjudul “Sejarah ket. Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal khalayak ramai”, yang dimuat oleh Indonesia Media di California dalam 5(lima) bagian pada tahun 2003. Peranan penting dari pihak orang Tionghoa, bila diketahui umum, akan meninggihkan pandangan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Image yang baik dapat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Sejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai.
Kutipan dari buku “The 6th overseas Chinese state“, Nanyang Huaren, CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman 65 - 99). Palembang (Ku-kang) Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari terachir di Jawa Timur mengirim ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang). Catatan thn 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan Sriwijaya direbut. Namun thn. 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan kacau.
O.W. Wolters menulis dalam buku “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
Victor Purcell dalam buku “The Chinese in Malaya” hal.14 menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri.
Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai (Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb, orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin. Dia menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk2 setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawak hadiah yang berlimpah2. Tahun 1407 atau shortly after that Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pendapat Purcell, bahwa Palembang dikuasai orang2 Tionghoa selama 200 tahun mungkin karena pihak Jawa secara de facto belum dapat mengatasi keadaan dengan betul, mungkin juga karena seperti tersebut dibawah ini penguasa yang dikirim dari Jawa adalah orang Tionghoa.
Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana “Runtuhnja keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”. Prof. Muljana bukan etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas anggauta Tentara Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meskipun sumber keterangan dari tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan “Tuanku Rao” yang tersebut didalamnya tak dapat ditrasir, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen sebagai “The Malay Annals of Semarang and Cerbon” di dalam buku “Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries”. Buku Prof. Muljana sendiri mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.
Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu thn.1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran Majapahit sekitar thn. 1518. Malay Annals yang masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan sbb.: thn. 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Dia oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.
Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Dia memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Dia minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana dia akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara thn. 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb.
O.W. Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 50, 52:
Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya: ….. menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ….. pernyataan2 T’ai-tsu kepada penguasa2 asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, dia menginginkan mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing2…..Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, dia lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas2 kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were unacceptable to him).
Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal2 yang membawak utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tsb mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah2 yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara2 lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan2 dari luar. Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada thn. 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana dia ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang2 dan binatang2 chas dalam negeri. Utusan2nya menyampaikan pesanan bahwa putera tsb segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya disertai pengangkatan dia sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara. Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam thn. 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika prajurit2 Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan2 yang membawanya, tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang2 yang hidup dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Lit.:
- Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.
- Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.
- W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.
- V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.
Demak, Banten,Cirebon Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di Jawa Tengah telah didirikan kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari 1475/1478 hingga 1546/1568. Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan berasal Palembang dimana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Dia terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang2 Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires, dia seorang “persona de grande syso”, a man of great power of judgement, seorang satria (cavaleiro, a knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di propinsi Yunnan terdapat banyak penganut agama Islam.
Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang2 keturunan Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga2 campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota2 pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.
Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita2 untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, dia berjuang sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil dia akan menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya dia telah mengunjungi Turki.
Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama2 tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas dia Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak di dalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang2 Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.
Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid2 di Jawa terutama di daerah2 pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi’i dan/atau Syi’ite dan ini bukan demikian halnya. Dia menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan. Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada thn.1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur. Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, dia mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut prof. Muljana orang2 Arab). Belum ada Muslimin Pribumi. Pada thn.1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang2 Muslim asal luar Jawa. Pada thn. 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi di antara orang2 Pribumi. Sebelum itu dia mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.
Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidak2nya hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan “Kyai” untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tsb peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian “Suhu, Saihu”. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo mazhab Syi’ite bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.
Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19 kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa. Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa2nya berbeda satu sama lain, demikian pula terdapat perbedaan antara suku2 dengan bahasa2nya di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
Lit.:
- De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700″.
- Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”.
- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung menjadi satu) “A story of Majapahit”.
- Slamet Muljana “Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”.
- Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”.
Kerajaan Islam Demak runtuh disebabkan perang saudara antara cucu2nya Jin Bun (Raden Patah).
Raja2 Demak adalah:
·         Jin Bun alias Al-Fatah (Raden Patah) 1478 - 1518
·         Yat Sun alias Adipati Yunus 1518 - 1521
·         Tung Ka Lo alias Trenggana 1521 - 1546
·         Muk Ming alias Sunan Prawata 1546 - 1546
Muk Ming dikalahkan dan terbunuh oleh Arya Penangsang Jipang, seorang cucu lain dari Raden Patah. Penangsang Jipang sendiri kemudian dibunuh oleh iparnya Muk Ming. Kerajaan Islam Demak tiada lagi karena ipar tsb mempunyai negara sendiri di Pajang di pedalaman Jawa Tengah dan merupakan orang Islam mazhab Shi’ite, bukan mazhab Hanafi.
Angkatan Laut Demak dua kali dengan sia2 menyerang kekuatan Portugis di Malaka dan satu kali di Maluku.
Namun pada tahun 1526-1527 Sunan Gunung Jati alias Fatahillah / Toh A Bo / Pangeran Timur, panglima kerajaan Demak, merebut Sunda Kalapa dan berhasil mengusir orang Portugis yang datang dengan maksud membangun benteng. Nama Sunda Kalapa oleh dia diganti menjadi Jayakarta. Prof. Djajadiningrat menterjemahkan arti Jayakarta sebagai “kemenangan yang tercapai” (volbrachte zege, achieved victory). Dr. de Graaf menyebut adanya laporan sejarawan Portugis bernama de Couto yang mengatakan pada tahun 1564 the martial king of Aceh Ala’ad-Din Shah telah minta pada “Raja Demak, Kaisar Jawa” (o Rey de Dama, Imperador do Jaoa) untuk membantu ekspedisinya menghadapi orang Portugis di Malaka. Nampaknya 18 tahun setelah runtuhnya kerajaan Demak, di tempat tsb masih terdapat kekuasaan yang oleh the mighty king of Aceh dipandang cukup berkuasa untuk diajak bersekutuan. Pada tahun 1574, jauh setelah kerajaan Demak tiada lagi, Ratu Kalinyamat dari Japara, cucu perempuan Raden Patah, masih merasa cukup kuat untuk mengirim kapal2 perang menyerang orang Portugis di Malaka.Setelah merebut Sunda Kalapa, Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Banten dan membentuk masyarakat Islam disana. Kesultanan Banten kemudian dia serahkan kepada Hasanuddin, puteranya, dan yang belakangan ini oleh tradisi Jawa dipandang sebagai raja Banten yang pertama. Pada tahun 1552 Sunan Gunung Jati datang ke masyarakat Muslim Tionghoa di Cirebon. Dia kecewa dengan adanya saling bunuh-membunuh antara cucu2nya Raden Patah. Sunan Gung Jati mengabulkan permintaan Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi untuk mendirikan kesultanan di Cirebon seperti Demak dulu. Sebagai orang yang sudah berumur lanjut dia menjadi sultan Cirebon yang pertama, menikah dengan puterinya Haji Tan Eng Hoat dan putera mereka menjadi Sultan Cirebon yang ke II.
Orang membayangkan bagaimana jalannya sejarah dunia bila kaisar Tiongkok T’ai-tsu tidak kehilangan perhatian terhadap dunia luar. Antara 1430 dan 1567 orang Tionghoa dilarang meninggalkan tanah leluhurnya. Angkatan Laut Tiongkok yang canggih dengan teknologi yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kapal2 Eropa, diterlantarkan. Tahun 1431 yaitu 61 tahun sebelumnya Columbus, kapal-utama Laksamana Cheng Ho berukuran 140 meter, sedangkan panjangnya kapal Columbus hanya 30 meter. Peninggalan2 yang diketemukan menunjukkan Australia dan Amerika Latin telah dikunjungi oleh pelaut2 Tionghoa. Adanya angin2 Timur serta arus2 Pacific dewasa itu jelas sudah diketahui orang Tionghoa. Kapal2 Tiongkok mempergunakan watertight bulkheads sedari abad ke 2 Masehi (2nd century AD). Prinsip tsb baru dikenal di Eropa sekitar tahun 1800, seribu enam ratus tahun kemudian. Seumpamakata armada Cheng Ho tidak dipereteli dan terjadi konfrontasi dengan kapal2 perang Eropa, Tiongkok tidak akan tertidur, tidak akan kepergok dalam keadaan lemah. Dengan perang-candu (1839 - 1842) Inggris memaksa Tiongkok untuk mengijinkan impor candu yang telah menghancurkan tenaga rakyat secara besar2an. Selama satu abad setelah perang-candu, Tiongkok hampir ambruk diserang Inggris, Jerman, Perancis, Jepang dll negara yang sedang jaya.
Dr. Kwee Swan Liat mengutip sejarawan Inggris Joseph Needham sbb.: Ilmu pengetahuan modern berdiri atas dasar teknologi abad pertengahan yang sebagian besar bukan asal Eropa. Selama abad ke 1 hingga abad ke 14 Masehi, Tiongkok telah membanjiri Eropa dengan penemuan2, tanpa Eropa mengetahui dari mana asalnya. Teknik2 numerational dan computational, pengetahuan dasar magnetical phenomena, efficient equine harness, teknologi besi dan baja, penemuan bahan peledak dan kertas, lonceng mekanik, driving belt, chain-drive, cara standard converting rotary to rectilinear motion, segmental arch bridges, nautical techniques seperti stern-post rudder, imunisasi, inokulasi dsb. Semua ini mengakibatkan kegemparan di dunia Barat. William Harvey sebelum tahun 1616 telah menemukan adanya aliran darah dalam tubuh manusia. Hal itu di Tiongkok sudah dikenal lima ratus tahun duluan.
Pada tahun 1574 Lim Ah Hong, seorang yang berada diluar perlindungan hukum (an outlaw) mengepung benteng Spanyol di Pilipina serta nyaris merebut Manila. Kemampuan seorang outlaw Tionghoa untuk mengguncangkan kekuasaan Spanyol di Asia, membuat gubernur Spanyol mengingini hubungan baik dengan kaisar Tiongkok. Tahun 1661 Koxinga mengalahkan Belanda di Taiwan. Satu tahun kemudian dia mengirim ultimatum kepada penguasa Spanyol di Pilipina untuk menyerah kepadanya atau dihancurkan. Sayang tahun itu juga, ketika orang2 Spanyol sedang panik memperkuat benteng2 pertahanannya, datang berita Koxinga meninggal dunia.Lain dari apa yang diajarkan di sekolah2 Belanda, penemuan bahan peledak di Tiongkok tidak hanya dipergunakan untuk mercon saja. Sedari permulaan, bahan peledak dipergunakan untuk keperluan2 militer. Pada dynasti T’ang (618-907) bahan peledak “nitre” dan alkimia Tionghoa dikenal orang2 Arab dan Persia sebagai “salju Tionghoa” dan “garam Tionghoa”. Abad ke 13 bahan peledak Tionghoa mulai dikenal Eropa melalui orang Arab yang masa itu berkuasa di Spanyol. Buku2 Arab jaman itu mencatat “botol2 besi” yang dipergunakan oleh tentara Monggol dalam abad ke 13. Pihak Arab memperoleh bermacam2 senjata api lewat orang Monggol. Antara lain senapan2 sederhana dan senapan petir. Tidak lama kemudian orang Arab dapat membuatnya sendiri. Senjata dan roket Arab “Qidan” berdasarkan model2 Tionghoa. Dewasa itu Tiongkok di Eropa terkenal sebagai Qidan. Baru tahun 1326 Inggris, Perancis dan lain negara2 Eropa untuk pertama kalinya membuat alat2 perang yang berasal Tiongkok ini. Senjata-api “blunderbus” yang dipergunakan di Eropa sekitar permulaan abad ke 14 asal-usulnya di Tiongkok.
Lit.:
- Zhou Jiahua “The history of gunpowder and weapons in China”
- Catalogue D/1988/2111/06 exhibition “China Heaven and Earth. 5000 Years inventions and discoveries” Brussels Sept 88 - Jan 89. Institute K.U. Leuven.
Kalimantan-Barat Pada dasarnya Indonesia terdiri dari bagian2 yang dahulu mempunyai kedaulatan sendiri2 seperti kerajaan, kesultanan dsb. Dalam abad ke 18 dan abad ke 19 di Kalimantan-Barat selain kerajaan/kesultanan terdapat juga sejumlah negara republik. Berapa jumlah semuanya tidak jelas. Saya sebut 3 yang paling besar. Republik Thai Kong dengan tentara 10.000 orang, Republik Lan Fong 6.000 orang dan Lara Sin-Ta-Kiou 5.000 orang. Masing2 negara republik tsb terdiri dari suku2 tertentu. Hubungannya satu sama lain sedemikian rupa hingga mudah diadu-domba oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah perang melawan Belanda dengan pertumpahan darah yang besar pada tahun 1854 hanya tinggal satu Republik Lan Fong yang achirnya berdiri 107 tahun. Meskipun thn. 1884 Belanda berhasil menghancurkannya, daerah tsb baru thn. 1912 berhasil diamankan. Sisa pusat perlawanan Lan Fong pertama-tama menyingkir ke Sarawak. Disana mereka terkenal dibawah bendera Sam Tiam Hui.
107 Tahun Republik Lan Fong lebih lama daripada negara persatuan Jerman bentukan Bismarck, yang setelah kira-kira 75 tahun pecah menjadi Jerman Timur dan Barat. Ditambah 12-13 tahun setelah dipersatukan lagi juga belum 100 tahun. Belgia terbentuk tahun 1830 hingga kini 173 tahun dan dengan demikian berumur kurang daripada self-government orang2 Tionghoa di Palembang yang menurut Victor Purcell berlangsung selama 200 tahun.
Pejabat pemerintah Belanda Dr. J.J.M. de Groot fasih bahasa Tionghoa adalah saksi-mata Republik Lan Fong. Buku de Groot “Het Kongsiwezen van Borneo” terbit thn.1885 mengandung keterangan yang berharga. Dia berkesempatan meninjau keadaan dari kedua belah pihak. Kami kutib tentang “… (sebutan de Groot) kongsi2 atau republik2 Tionghoa yang dahulunya ada di Kalimantan Barat…” sbb.:
Tahun 1885 ini pun (setahun setelah Lanfong hancur) tentara Belanda masih menghadapi perlawanan. Orang2 Lan Fong inilah yang tadinya mengolah pertambangan mas di Kalimantan hingga daerah ini menjadi makmur seperti belum pernah terjadi disini. Ketika thaiko Lo Fong-phak mendirikan Kongsi Lan Fong di Mandor pada tahun 1777, belum ada pemerintahan yang menguasai daerah tsb. Maka semua hukum dan undang2 yang berlaku disitu dia yang menyusunnya. De Groot sangat kagum sejumlah pendatang campur-aduk yang berasal dari kaum petani biasa di Tiongkok mampu mendirikan negara dengan organisasi yang rapih dan terpimpin dimana berlaku hukum, ketertipan dan disiplin. Mereka memiliki perundang2an serta sistem keuangan sendiri. Negara2 republik tsb perang satu sama lain dan perang dengan raja2 Melayu. Perundingan2 dengan pemerintah Belanda yang jauh lebih kuat, telah mereka lakukan dalam tingkat sederajat. Dari manakah semangat republik dan demokratis yang besar itu, sedangkan orang2 Barat selalu mengira kekuasaan di Tiongkok bersifat absolutis? De Groot telah mempelajari keadaan di Tiongkok dan berkesimpulan semua ini adalah warisan adat-istiadat dan sistem kebijaksanaan dari negara leluhur. De Groot menamakan mereka “… a free people, keen on its self established republican independency…”. Komisaris pemerintah kolonial Willer dalam tulisannya yang berjudul “Kronijk (chronicle) van Mampawa en Pontianak” menyebut Lanfong “republik konstitusional dibawah kekuasaan tritunggal (triumvirate)”.
Kehancurannya negara2 republik di Kalbar telah mendatangkan kemiskinan di daerah ini yang luasnya lebih dari empat kali negeri Belanda… De Groot mengecam pemerintah Belanda karena tidak pernah berusaha untuk betul2 mengenal orang Tionghoa. Dia berpendapat tidak ada golongan lain yang lebih banyak mengalami fitnahan di daerah penjajahan Belanda daripada golongan Tionghoa. De Groot bertindak sebagai juru bahasa. Semua hal antara pihak Belanda dan pihak pimpinan Tionghoa melalui tangannya dan dia mengenal pemimpin2 kongsi dengan baik. De Groot telah mengumpulkan sebanyak mungkin dokumentasi karena mengetahui Belanda akan menyerang dan orang2 Tionghoa tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dokumen2 negara2 republik yang lain musna dalam peperangan yang sudah2.
Sama-rata Van Rees seorang Belanda lain yang banyak mengetahui tentang negara2 republik suku Tionghoa tsb., telah memberi kesaksian tentang pergaulan sama rata di republik2 itu. Orang yang berpangkat paling tinggi duduk berdampingan dengan kuli yang paling miskin. Menurut van Rees di dalam penghidupan sehari-hari orang Tionghoa tidak mempersoalkan tingkat dan pangkat. Penguasa sipil Sambas bernama Muller dan seorang pejabat Belanda bernama Veth juga menyaksikan hubungan sama-rata. De Groot selanjutnya: “orang yang terendah pun setiap waktu dapat menghubungi pimpinan termasuk kapthai sendiri. Tiada pemimpin yang merasa tersinggung bila seorang dari rakyat-biasa memasuki ruang kerjanya untuk membicarakan urusan2 kecil. Bila bertemu dipersimpangan jalan, pemimpin dan rakyat-biasa saling menyambut dengan ramah…. Pada umumnya sama dengan sifat orang2 Tionghoa yang datang ke jajahan Belanda…. Di Jawa disatu pihak pendatang baru dari Fukien dengan mudah dikuasai oleh pemuka2nya, tetapi dilain pihak menunjukkan kemerdekaan yang bertaraf tinggi tanpa sikap resmi dan hormat yang berlebihan. Pihak pemimpin cukup bijaksana tidak menuntut kehormatan yang lebih besar. Mereka mengetahui para bawahannya itu orang2 yang teresap dengan ajaran “hao” dan akan cukup mengindahkan pemimpinnya.”
Saksi2-mata tsb juga kagum tenaga kerja orang2 Tionghoa. Hutan ditebang dan tanah yang tidak begitu subur dijadikan sawah, kebun gula dan kebun buah2an. Dikatakan tiada suku lain di dunia dalam keadaan yang sama dapat mewujudkannya. Bekerja dibawah terik panas matahari daerah khattulistiwa dari subuh hingga matahari terbenam, dipersukar oleh kekuasaan Belanda, tanpa perlindungan dari pemerintah tanah leluhur, tanpa modal, hanya dengan kecerdikan dan semangat-berusaha (spirit of enterprise). Menjalin hubungan keluarga dengan pihak Pribumi melalui pernikahan, secara umum terjadi sedari permulaan. Mendirikan sekolahan2 merupakan salah satu usaha yang utama, sekalipun didesa-desa yang kecil. Di antarakaum Tionghoa sukar dijumpai orang yang buta-huruf. Mereka disukai penduduk Pribumi sebagai tenaga yang berharga. Tidak seperti pihak Belanda yang dimana-mana datang dengan kapal perang, serdadu dan senapan. Dengan suku Dayak Batang-lupar dan Punan yang ditakuti sebagai pengayau (penggorok kepala) pun orang2 Tionghoa dapat memelihara hubungan yang baik. Sedangkan tidak ada orang Eropa yang berani berhadapan dengan suku2 tsb tanpa pengawal yang kuat. Demikianlah kesaksian pejabat-pejabat Belanda jaman itu.
Permulaan tahun 1960-an operasi chusus (Opsus) tentara telah melancarkan intrik penghasutan orang Dayak di pedalaman Kalimantan-Barat terhadap orang Tionghoa. Puluhan ribu orang Tionghoa dikejar-kejar, menjadi pengungsi di kota-kota pantai dalam keadaan payah. Banyak yang tewas. Dasar pikiran yang menelorkan operasi tsb menyalahi cita2 nation-building serta merugikan nusa dan bangsa Indonesia. Adanya sejarah negara Thai Kong, Lan Fong dll., pada hakekatnya tidak beda misalnya dengan adanya negara Demak yang didirikan Jin Bun alias Raden Patah. Seperti dijelaskan diatas, negara Indonesia memangnya terdiri dari banyak bagian yang dulunya mempunyai kedaulatan sendiri. Operasi chusus tetap dilancarkan di Kalimantan-Barat karena penduduk didaerah yang bersangkutan keturunan Tionghoa, meskipun mereka warganegara Indonesia. Diskriminasi terhadap ket.Tionghoa adalah warisan politik adu-domba kolonial Belanda. Thailand yang tidak mengalami penjajahan telah menyerap orang2 Tionghoa tanpa banyak persoalan. Apalagi bagi orang2 yang pandai. Bekas Perdana Menteri Chuan Leek Pai dan banyak orang terkemuka lain serta tidak sedikit anggauta keluarga raja adalah keturunan Tionghoa yang sudah 100% menjadi orang Thai. Sebelum jaman kolonial orang2 Tionghoa di Indonesia juga dengan sendirinya terserap secara wajar. Orang2 keturunan Tionghoa seperti Raden Patah dan Endroseno hingga Cekong Mas (yang kuburannya suci dan terletak di dalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur), semuanya telah terserap 100% oleh pihak Pribumi Indonesia dimasa sebelum penjajahan.
Tokoh-tokoh Tionghoa di dalam sejarah mempunyai nama Pribumi dan mereka tidak menonjolkan diri sebagai orang Tionghoa. Ini mendekatkan mereka dengan pengikutnya serta melancarkan segala sesuatu. Sama dengan anggauta keluarga raja Belanda. Mereka semuanya keturunan Jerman, tetapi mereka juga tidak menonjolkan, bahwa mereka ket. Jerman.

Sunan Drajat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar